Hujan di depan mata, dingin, dan gemuruh
Hujan pula di pelupuk mataku
Dingin juga di hatiku
Dan gemuruh pula di jiwaku
Aku tau, pertemuan kita hanya kebetulan atas waktumu dan waktuku yang bersinggungan
Berkali diriku berucap, hati-hati wahai hati
Jangan sampai kamu tergelincir dan jatuh
Dan aku sudah jatuh bahkan sebelum aku sadar, sakitnya tiada obat
Dan maafmu, hanya mimpi bagiku
Wahai hati yang kini jauh
Tidak rindukah kamu pada waktu hujan, kita berkendara dengan sepeda motor “hitam” milikmu menuju bukit tanpa nama tempat kita berbagi cerita bahagia maupun getirnya hidup
Sedikit saja, tidakkah ada rasa rindu itu
Saat kita diterpa setiap rasa basahnya tubuh atas guyuran hujan, terpaan angin, dan teriakan tawa?
Apa disana sedang hujan?
Apa disana kamu berada di bawah hujan seperti dulu setiap kali hujan kita turun memeluk bumi?
Atau kamu hanya sedang bergelung nikmat bersama selimut hangatmu?
Membenci hujan yang selalu mengingatkanmu tentangku
Aku masih disini, aku masih suka berada dibawah guyuran hujan
Aku masih disini, aku masih suka dinginnya terpaan angin
Aku masih disini, hanya saja… tanpa teriakan tawa, tanpa kamu, tanpa maafmu
Pulanglah, bila membenciku dan pergi nyatanya tiada arti
Rumah dan hujanmu merindukanmu, ingin memelukmu
Mendewasalah disini, karena sebelum sakit ini, pernah banyak tawa dalam hujan yang bisa kita kenang
Tak apa bila aku bukan lagi alasanmu pulang
Aku hanya ingin rumahku, hujanku, anginku, kembali terasa lengkap hanya dengan adanya hadirmu
Meski tanpa ada lagi “kita” dalam cerita
Setidaknya, masih ada kata kita dalam “kota hujan kita”
Jadi, pulanglah.
Bogor, 11 Desember 2015
Ditulis oleh @amaliairliandini
Hujan pula di pelupuk mataku
Dingin juga di hatiku
Dan gemuruh pula di jiwaku
Aku tau, pertemuan kita hanya kebetulan atas waktumu dan waktuku yang bersinggungan
Berkali diriku berucap, hati-hati wahai hati
Jangan sampai kamu tergelincir dan jatuh
Dan aku sudah jatuh bahkan sebelum aku sadar, sakitnya tiada obat
Dan maafmu, hanya mimpi bagiku
Wahai hati yang kini jauh
Tidak rindukah kamu pada waktu hujan, kita berkendara dengan sepeda motor “hitam” milikmu menuju bukit tanpa nama tempat kita berbagi cerita bahagia maupun getirnya hidup
Sedikit saja, tidakkah ada rasa rindu itu
Saat kita diterpa setiap rasa basahnya tubuh atas guyuran hujan, terpaan angin, dan teriakan tawa?
Apa disana sedang hujan?
Apa disana kamu berada di bawah hujan seperti dulu setiap kali hujan kita turun memeluk bumi?
Atau kamu hanya sedang bergelung nikmat bersama selimut hangatmu?
Membenci hujan yang selalu mengingatkanmu tentangku
Aku masih disini, aku masih suka berada dibawah guyuran hujan
Aku masih disini, aku masih suka dinginnya terpaan angin
Aku masih disini, hanya saja… tanpa teriakan tawa, tanpa kamu, tanpa maafmu
Pulanglah, bila membenciku dan pergi nyatanya tiada arti
Rumah dan hujanmu merindukanmu, ingin memelukmu
Mendewasalah disini, karena sebelum sakit ini, pernah banyak tawa dalam hujan yang bisa kita kenang
Tak apa bila aku bukan lagi alasanmu pulang
Aku hanya ingin rumahku, hujanku, anginku, kembali terasa lengkap hanya dengan adanya hadirmu
Meski tanpa ada lagi “kita” dalam cerita
Setidaknya, masih ada kata kita dalam “kota hujan kita”
Jadi, pulanglah.
Bogor, 11 Desember 2015
Ditulis oleh @amaliairliandini